Bayangkan sebuah meja makan. Di tengah-tengah hidangan lezat, tersedia garam. Namun, ketika kita mencicipinya, garam itu ternyata tawar. Itu bukanlah garam, melainkan gula atau sesuatu yang lain yang hanya berpura-pura menjadi garam. Garam yang asli tidak mungkin bisa memalsukan rasanya. Identitasnya teruji pada saat ia memberi rasa. Ia tidak bisa pura-pura asin, pura-pura menggarami, atau pura-pura memberi rasa. Garam itu jujur pada keberadaannya.
Dalam khotbah di bukit, Yesus berkata, "Kamu adalah garam dunia" (Matius 5:13). Adalah. Ini adalah sebuah identitas, bukan sebuah peran yang kita mainkan. Seperti garam, panggilan kita sebagai orang percaya adalah untuk "memberi rasa" pada dunia—membawa pengaruh kasih, kebenaran, dan damai sejahtera Allah.
Namun, Roma 12:9 mengingatkan kita akan bahaya yang sering mengintai: kemunafikan, atau kasih yang pura-pura. Ini adalah "garam" yang kehilangan rasa aslinya. Itu adalah:
Senyuman yang dipaksakan, sementara hati penuh kritik.
Kata-kata penghiburan yang diucapkan, tapi tanpa keinginan untuk benar-benar meringankan beban.
Pelayanan yang dilakukan untuk dilihat dan dipuji orang, bukan untuk mengasihi Tuhan dan sesama secara sebenarnya.
Paulus dengan tegas menolak kemunafikan ini. Perintahnya sederhana namun mendalam: "Hendaklah kasih itu jangan pura-pura!" Kasih kita haruslah tulus (TSI), sungguh-sungguh (TSI), tidak berpura-pura (AVB), dan tulus ikhlas (BSD).
Lalu, bagaimana kita menguji keaslian "garam" kasih kita? Ayat ini memberikan dua standar yang jelas:
"Jauhilah yang jahat" / "Bencilah apa yang jahat" (Abhor what is evil). Kasih yang sejati tidak pernah kompromi dengan kejahatan. Ia membenci ketidakadilan, kebohongan, keserakahan, dan dosa dalam bentuk apa pun. Kasih yang membiarkan yang jahat adalah kasih yang palsu. Seperti garam yang juga berfungsi sebagai pengawet yang mencegah kebusukan, kasih Kristiani harus aktif menolak dan menjauhi segala bentuk kejahatan.
"Lakukanlah yang baik" / "Berpeganglah kepada kebaikan" (Cling to what is good). Kasih yang sejati itu aktif dan nyata. Ia tidak hanya membenci yang jahat, tetapi secara aktif melekat pada --dan melakukan-- yang baik. Itu adalah kasih yang terlihat dalam tindakan: kesabaran, keramahan, pengampunan, dan pelayanan yang tulus. Inilah "rasa garam" yang diperlukan dunia.
Garam tidak bekerja untuk dirinya sendiri; ia memberi rasa untuk kepentingan hidangan. Demikian pula, kasih kita yang tulus bukan untuk kemuliaan kita sendiri, tetapi untuk kemuliaan Bapa di surga dan untuk kebaikan sesama.
Bagaimanan dengan kita?
Apakah kasih saya kepada orang lain tulus, atau sekadar pura-pura dan penuh pertimbangan diri sendiri?
Apakah dengan berani menjauhi kejahatan dan dengan aktif melakukan kebaikan dalam perkataan dan perbuatan?
Janganlah menjadi garam yang tawar. Jadilah garam yang asli, yang dengan tulus mengasihi, membenci yang jahat, dan berpegang pada yang baik. Karena garam yang sejati tidak bisa, dan tidak perlu, berpura-pura.
Roma 12:9 (AVB), "Kasih hendaklah bersih daripada pura-pura. Bencilah kejahatan. Berpeganglah kepada kebaikan."
[Let your] love be sincere (a real thing); hate what is evil [loathe all ungodliness, turn in horror from wickedness], but hold fast to that which is good. (AMP)
Love from the center of who you are; don't fake it. Run for dear life from evil; hold on for dear life to good. (MSG)
~ FG