Bayangkan, tinggal di sebuah rumah selebar 1,5 meter. Sulit bergerak, pengap, dan sempit, tetapi memilih menetap di sana selama 14 tahun. Bukan karena harus, namun karena amarah. Itulah yang dilakukan Joseph Richardson, seorang pria yang marah karena harga tanahnya ditawar terlalu rendah. Bukannya melepaskan, ia membangun "rumah dendam", lalu tinggal di dalamnya, menghadap tembok, menatap kosong, hidup bukan karena tujuan, tapi karena kepahitan.
Ibrani 12:15 (TSI), "Waspadalah supaya jangan seorang pun di antara kalian meninggalkan kebaikan hati Allah. Karena orang semacam itu akan menjadi seperti tanaman beracun yang bisa menularkan kenajisannya kepada anggota jemaat yang lain."
Hendaklah Saudara saling menjagai, supaya tidak seorang pun di antara Saudara gagal mendapat berkat Allah. Jagalah supaya jangan ada kepahitan yang berakar di antara Saudara-saudara, sebab kalau ada, hal itu akan menyebabkan banyak kesulitan yang merusak kehidupan rohani banyak orang. (FAYH)
Dendam mungkin sekilas terlihat seperti sebuah kekuatan yang membuat kita merasa memegang kendali. Tapi nyatanya, dendam adalah "jeruji" yang halus, di mana kita berpikir kita menghukum orang lain, padahal kitalah yang sebenarnya terpenjara.
Kita mungkin tidak membangun rumah fisik seperti Joseph Richardson, namun berapa banyak dari kita yang membangun "tembok emosi"? Tembok yang terbuat dari diam, sindiran, relasi yang diputus, dan kata-kata kasar yang kita simpan untuk waktu yang "tepat".
Tuhan tidak mau supaya kita tinggal serta menerap di dalam rumah dendam. Sebab, Dia memberi kasih karunia dan pengampunan dengan limpahnya. Rumah dendam mungkin cuma muat untuk 1 orang, teapi kasih karunia membuka jendela dan pintu, mengundang terang masuk, bahkan membuka ruang bagi orang lain untuk menjadi sahabat serta saudara.
Yesus tahu bagaimana rasanya dikhianati, difitnah, disakiti, namun Ia tidak pernah membangun rumah dendam. Ia malah membangun rumah pengampunan, dan mengundang kita tinggal bersama-Nya di sana. Tidak seperti Joseph Richardson.
Bagaimana dengan kita, apakah lebih memilih sempitnya kendali emosi daripada luasnya pengampunan?
~ FG